top of page

TES MASUK TK, PERLUKAH?​

Umumnya, TK yang menyelenggarakan tes/seleksi masuk adalah TK-TK yang tergolong favorit. Kebijakan ini ditempuh lantaran jumlah calon siswa yang mendaftar melebihi kapasitas kursi yang disediakan. Tapi, apa kata pakar?

Memang, perbandingan jumlah murid TK dan guru dalam satu kelas harus diperhatikan. Terlalu banyak murid, selain akan membuat guru kewalahan, juga membuat suasana pembelajaran jadi tidak efektif. Atas dasar fakta tersebut, seleksi murid diadakan untuk menyaring anak yang paling berhak mendapatkan kursi terbatas tadi. Tujuannya untuk menjaga komposisi jumlah murid dan guru dalam satu kelas. Hal ini diakui Drs. Hapidin, MPd., "Mengacu pada standar internasional, komposisinya 1 : 8. Maksudnya, seorang guru menangani 8 anak didik. Sementara di Indonesia, seorang guru menangani maksimal 20 anak didik."

 

Hanya saja, dosen pada Program Studi Pendidikan Anak Usia Dini Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Jakarta ini, tak setuju bila TK menyelenggarakan tes yang dimaksudkan sebagai seleksi. "Kalau memang alasannya karena keterbatasan kursi atau guru, harusnya TK tersebut bekerja sama dengan TK di depannya, di sampingnya, atau di belakangnya (tetangganya-Red.) untuk bersama-sama menyelenggarakan pendidikan. Nah, si TK favorit bertindak sebagai supervisi atau pengayom sehingga semua mutunya sejajar."

SEMUANYA DITERIMA​

 

Ditegaskan oleh Hapidin, TK tak boleh menyelenggarakan tes atau seleksi masuk. "Yang boleh adalah assesment, yang sifatnya berupa penjajakan kemampuan dasar anak sebelum dia 'dititipkan' di TK."

 

Assesment  ini, katanya lebih lanjut, untuk melihat kemampuan motorik, kemampuan bahasa dan kemampuan kognitif. Contoh, anak diminta melakukan gerakan tertentu, lalu untuk kemampuan bahasa diminta bercerita. Selanjutnya untuk kemampuan kognitif, misalnya mencocokkan warna atau mengisi benda-benda sesuai kotaknya.

 

Tindakan anak akan dicatat sebagai laporan assesment. Setelah si anak dua bulan di TK, laporan itu di-update, apakah ada peningkatan kemampuan dari si anak. Tentunya hasil assesment setelah dua bulan itu akan berbeda-beda setiap muridnya karena anak ada yang belajarnya lambat, sedang, dan cepat.

 

Nah, TK yang baik mempunyai diferensiasi program ini. Artinya, dari hasil assesment tersebut, anak dikelompokkan sesuai kategori. Misal, sama-sama TK A, tapi ada kelas siput (lambat), kelas kucing (sedang) dan kelas kelinci (cepat). Jadi, masing-masing anak mendapat tempat dan pengajaran sesuai dengan kemampuannya.

 

Karena sifatnya assesment, tambah Hapidin, tentu tak boleh ada murid yang tidak diterima. "Semuanya harus diterima. Nah, bagaimana caranya supaya semua bisa diterima, ya, itu tadi. Setiap TK hendaknya bekerja sama dengan TK-TK lainnya untuk menyetandarkan mutu sehingga tak ada lagi TK favorit atau orang tua hanya berbondong-bondong ke TK tertentu saja."

 

Dengan demikian, orang tua yakin anaknya mendapatkan pendidikan dengan standar mutu yang sama karena si anak masuk ke TK yang merupakan afiliasi/rekomendasi dari TK utama. Tentunya pelaksana TK sejak awal sudah menerangkan kepada orang tua bahwa akan melakukan assesment, bukan tes seleksi masuk. Juga menjelaskan tentang jumlah kursi yang tersedia di TK-nya dan di TK-TK lain yang dibinanya.

 

Menurut Hapidin, kalau untuk masuk TK saja sudah terseleksi, sudah ditolak, maka bisa menimbulkan dampak negatif buat si anak. "Anak akan merasa gagal. Bayangkan kalau masih kecil sudah punya perasaan gagal. Ini menyangkut kepercayaan diri yang bisa terbawa terus sampai dewasa."

Dampak lainnya, anak pasti akan cemas, yang muncul karena tekanan orang tua. Misal, orang tua menyalahkan anaknya yang dinilai tidak belajar atau tidak serius mengerjakan tugas. "Bila harus mengulang tes di TK lain, bisa jadi perasaan cemas ini malah yang muncul. Akhirnya gagal lagi dan gagal lagi."

SEDIAKAN ALTERNATIF​

 

Sayangnya, yang terjadi sejak beberapa tahun lalu sampai sekarang, justru diberlakukannya tes/seleksi masuk untuk menyaring calon anak didik yang akan diterima. Animo masyarakat (orang tua) terhadap sekolah-sekolah favorit ini juga tak berkurang, sekalipun harus bersaing dengan calon lainnya dan ada kemungkinan anak tidak diterima.

 

Menghadapi kenyataan ini, Heni Supolo Sitepu, MA., menganjurkan orang tua agar tidak hanya mengandalkan satu sekolah saja. "Harus ada pilihan alternatif sekolah lain. Apalagi kalau orang tua tahu sekolah tersebut ternyata peminatnya jauh lebih banyak dari jumlah kursi yang ada."

 

Tak kalah penting, orang tua hendaknya tidak langsung patah semangat bila anaknya ternyata tidak diterima. "Bukan berarti si anak tak mampu atau bodoh. Bisa saja ketika diseleksi, mood si anak lagi buruk. Akibatnya, dia jadi tidak kooperatif, tidak menunjukkan keinginan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan guru, sehingga akhirnya dianggap tidak lolos seleksi."

 

Bukan tak mungkin, lanjut konsultan pendidikan ini, ketika diseleksi di TK lain, anak lebih kooperatif karena suasana hatinya memang sedang bagus. Lagi pula, "Seleksi hanya potret sesaat pada waktu pelaksaan, tidak menjamin 100% keadaan anak memang seperti itu," bilang Heni.

 

Itulah mengapa, ia tak setuju bila orang tua lantas menyalahkan anak atau malah tetap ngotot berusaha agar anaknya bisa diterima semisal dengan menjanjikan pihak sekolah akan memberikan sumbangan pendidikan dua kali lipat. Justru yang harus dilakukan orang tua adalah menjaga agar anaknya tidak merasa ditolak. "Orang tua seyogyanya mengatakan, 'Yuk, kita cari sekolah yang cocok untuk kamu,' sehingga anak tidak merasa ditolak di TK tersebut tetapi merasa, oh, ada sekolah yang cocok untuk saya." Dengan adanya alternatif sekolah lain, anak pun belajar tentang kemungkinan-kemungkinan dan pilihan.

​

​

MENGAPA SEKOLAH FAVORIT?

 

Menurut Heni, umumnya orang tua memilih TK favorit karena kegiatan di TK tersebut menyenangkan anak. "Kegiatan yang menyenangkan anak tentu akan mendorong semangat belajar anak yang akhirnya juga menggembirakan untuk orang tua."

 

Akan tetapi, Heni minta orang tua jangan lantas mengecilkan arti sebuah TK yang tidak favorit atau TK yang hanya menggunakan lingkungannya untuk proses pembelajaran tanpa gedung megah, misal. "Karena di situ anak juga bisa belajar."

DARI AWAL HARUS SUDAH DIPERSIAPKAN

 

P. Wahyu Widodo, Ayahanda Mourezki (5)

 

"Tahun ini, Mourez diterima menjadi murid TK B di Sekolah Internasional Bina Nusantara. Sebenarnya, ini merupakan lanjutan TK A di sekolah sebelumnya, yaitu TK Madania. Pertimbangan saya memindahkan Mourez, disamping jaraknya lebih dekat dari rumah karena kami baru saja pindah rumah, saya juga ingin Mourez lebih mendapatkan pengalaman internasional. Di sini murid-muridnya berasal dari berbagai bangsa, guru-gurunya pun ada yang berasal dari India, Singapura dan Filipina disamping Indonesia. Enam puluh persen pengajaran di sini diberikan dalam bahasa Inggris.

 

Waktu masuk TK Madania, umur 4 tahun, Mourez juga dites masuk, tapi sifatnya lebih seperti mengobrol. Mourez disuruh menceritakan tentang keluarganya termasuk hobinya. Kami orang tuanya pun boleh mendampingi, tapi anak yang menjawab. Dia, sih, lancar-lancar saja menjawab karena anaknya memang suka ngobrol. Buktinya dia langsung diterima.

 

Waktu "naik kelas" dan pindah ke TK Bina Nusantara, Mourez juga dites. Tes kemampuan motorik, Mourez diminta melompat dan berdiri satu kaki. Mourez juga diminta melakukan beberapa hal, seperti mencocokkan warna dan gambar. Semua intruksinya dalam bahasa Inggris. Guru juga melihat PD-nya lewat kemampuannya bercerita. Tesnya berupa wawancara di kelas dengan seorang guru yang berbangsa Filipina. Orang tua tidak mendampingi. Waktunya kurang lebih 20 menit. Saat itu juga langsung dikasih tahu, apakah si murid diterima atau tidak. Alhamdulillah, Mourez lulus tes. Ia tak mengalami kesulitan karena sejak di kelompok bermain dan di rumah pun, saya membiasakan Mourez berbahasa Inggris.

 

Menurut saya, sah-sah saja sekolah melakukan tes meskipun untuk anak prasekolah. Apalagi kalau ketersediaan kursi dan guru terbatas. Lagi pula, kalau memang sekolahnya menggunakan pengantar bahasa Inggris, tentu, dong, harus ada tes bahasa Inggrisnya. Ini, kan, juga untuk melihat kesiapan anak mengikuti pelajaran. Sekarang tinggal orang tuanya, kalau memang tujuannya ke sana, ya, dari awal anak sudah harus dipersiapkan."

 

"SAYA TIDAK TAHU KENAPA VITA TIDAK LULUS TES"​

 

Irsa Maulani, ibunda Jovita (5)

 

"Tahun lalu saya mendaftarkan Vita ke sebuah TK favorit yang kebetulan dekat rumah di Cipete. Yang mendaftar banyak sekali dan ada tes masuk. Saya dengar, perbandingannya 1:3. Artinya, setiap 3 murid memperebutkan satu kursi. Saya dan suami ingin sekali Vita bisa masuk, dengan pertimbangan dekat rumah dan TK ini berbasis agama yang saya anut.

 

Sayangnya Vita tidak diterima. Pihak sekolah mengatakan Vita tidak terseleksi. Setelah saya desak, mereka hanya bilang, Vita tidak cocok sekolah di sini. Saya tidak bisa menanyakan lebih lanjut di tes bidang apa Vita gagal karena memang perjanjiannya, kalau tidak terseleksi, ya, sudah, tidak ada pertanyaan lebih lanjut.

 

Saat tes, setiap anak dipanggil satu-satu di ruang yang dihadiri dua guru. Orang tua hanya menunggui dari jauh. Sejauh yang saya tahu, tesnya tidak sulit, enggak ada membaca dan menulis. Hanya disuruh mencocokkan warna, melakukan gerakan tertentu dan si anak disuruh bercerita tentang dirinya dan keluarga. Saya enggak tahu kenapa Vita enggak lulus. Padahal dari umur 2 tahun malah dia sudah bisa mengenal warna. Anaknya juga ceriwis. Mungkin lagi enggak mood aja.

 

Tapi saya enggak panik ketika Vita tidak terima, karena saya tahu calon murid di TK tersebut membludak. Jadi saya sudah siap mental. Saya mendaftarkan Vita ke tiga TK. Alhamdulillah, Vita masuk ke TK Mutiara milik Kak Seto yang berbasis nasional. Memang, sih, agak jauh sedikit tapi yang penting, dia bisa bermain di taman kanak-kanak. Saya dan suami, kan, kerja. Kalau hanya main di rumah sama Mbaknya terus, kami takut kurang berkembang. Lagi pula, masuk TK, kan, untuk persiapan ke SD."

bottom of page